Sunday, June 21, 2015

Perkembangan SAK Indonesia, Adopsi Konversi IFRS

Nama   : Karlina Indah Purwanti
Kelas   : 4EB09
NPM   : 23211908

 

Standar Akuntansi Keuangan Dan Perkembangannya di Indonesia Melaui IFRS

Standar Akuntansi Keuangan Indonesia perlu mengadopsi IFRS , sehingga laporan keuangan Indonesia dapat diterima secara global dan perusahaan-perusahaan Indonesia mampu memasuki persaingan global untuk menarik investor internasional . Saat ini , adopsi oleh PSAK Indonesia adalah dalam bentuk harmonisasi , yang berarti adopsi parsial . Namun, Indonesia berencana untuk sepenuhnya mengadopsi IFRS pada tahun 2012 . Adopsi tersebut akan wajib bagi perusahaan yang terdaftar dan multinasional .
Keputusan apakah Indonesia akan sepenuhnya mengadopsi IFRS atau sebagian mengadopsi untuk tujuan harmonisasi perlu dipertimbangkan dengan hati-hati . Adopsi penuh IFRS akan meningkatkan keandalan dan daya banding laporan keuangan secara internasional . Namun, mungkin bertentangan dengan sistem pajak Indonesia dan situasi ekonomi dan politik lainnya .
Jika Indonesia adalah untuk mengadopsi sepenuhnya IFRS pada tahun 2012 , tantangan yang dihadapi pertama oleh sivitas akademika dan perusahaan . Kurikulum , silabus , dan sastra perlu disesuaikan untuk mengakomodasi perubahan . Ini akan memakan waktu yang cukup dan usaha karena banyak aspek terkait dengan perubahan . Penyesuaian juga perlu dilakukan oleh perusahaan atau organisasi , terutama mereka dengan transaksi internasional dan interaksi .
Adopsi penuh juga berarti perubahan prinsip akuntansi yang telah diterapkan sebagai standar akuntansi di seluruh dunia . Hal ini mungkin tidak akan tercapai dalam waktu singkat , karena beberapa alasan : ( 1 ) standar akuntansi sangat berhubungan dengan sistem pajak . Adopsi IFRS internasional dapat mengubah sistem pajak di setiap negara yang sepenuhnya mengadopsi IFRS . ( 2 ) Standar akuntansi adalah akuntansi kebijakan dalam rangka memenuhi kebutuhan politik dan ekonomi nasional yang berbeda-beda ineach negara . Ini mungkin menjadi tantangan yang signifikan dalam sepenuhnya mengadopsi IFRS.

A.    Sejarah, perkembangan, dan pengadopsian Standar Akuntansi Internasional di Indonesia 
Berikut adalah perkembangan standar akuntansi Indonesia mulai dari awal sampai dengan saat ini yang menuju konvergensi dengan IFRS (Sumber: Ikatan Akuntan Indonesia, 2008).
  • di Indonesia selama dalam penjajahan Belanda, tidak ada standar Akuntansi yang dipakai. Indonesia memakai standar (Sound Business Practices) gaya Belanda.
  • sampai Thn. 1955 : Indonesia belum mempunyai undang – undang resmi / peraturan tentang standar keuangan.
  • Tahun. 1974 : Indonesia mengikuti standar Akuntansi Amerika yang dibuat oleh IAI yang disebut dengan prinsip Akuntansi.
  • Tahun. 1984 : Prinsip Akuntansi di Indonesia ditetapkan menjadi standar Akuntansi.
  • Akhir Tahun 1984 : Standar Akuntansi di Indonesia mengikuti standar yang bersumber dari IASC (International Accounting Standart Committee)
  • Sejak Tahun. 1994 : IAI sudah committed mengikuti IASC / IFRS.
  • Tahun 2008 : diharapkan perbedaan PSAK dengan IFRS akan dapat diselesaikan.
  • Tahun. 2012 : Ikut IFRS sepenuhnya?

B.     Pengadopsian Standar Akuntansi Internasional di Indonesia
Saat ini standar akuntansi keuangan nasional sedang dalam proses konvergensi secara penuh dengan International Financial Reporting Standards (IFRS) yang dikeluarkan oleh IASB (International Accounting Standards Board. Oleh karena itu, arah penyusunan dan pengembangan standar akuntansi keuangan ke depan akan selalu mengacu pada standar akuntansi internasional (IFRS) tersebut.
Untuk hal-hal yang tidak diatur standar akuntansi internasional, DSAK akan terus mengembangkan standar akuntansi keuangan untuk memenuhi kebutuhan nyata di Indonesia, terutama standar akuntansi keuangan untuk transaksi syariah, dengan semakin berkembangnya usaha berbasis syariah di tanah air. Landasan konseptual untuk akuntansi transaksi syariah telah disusun oleh DSAK dalam bentuk Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah. Hal ini diperlukan karena transaksi syariah mempunyai karakteristik yang berbeda dengan transaksi usaha umumnya sehingga ada beberapa prinsip akuntansi umum yang tidak dapat diterapkan dan diperlukan suatu penambahan prinsip akuntansi yang dapat dijadikan landasan konseptual. 
C.    Revisi terbaru PSAK yang mengacu pada IFRS
Sejak Desember 2006 sampai dengan pertengahan tahun 2007 kemarin, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah merevisi dan mengesahkan lima Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Revisi tersebut dilakukan dalam rangka konvergensi dengan International Accounting Standards (IAS) dan International financial reporting standards (IFRS). 5 butir PSAK yang telah direvisi tersebut antara lain: PSAK No. 13, No. 16, No. 30 (ketiganya revisi tahun 2007, yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2008), PSAK No. 50 dan No. 55 (keduanya revisi tahun 2006 yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2009). 
  1. PSAK No. 13 (revisi 2007) tentang Properti Investasi yang menggantikan PSAK No. 13 tentang Akuntansi untuk Investasi (disahkan 1994), 
  2. PSAK No. 16 (revisi 2007) tentang Aset Tetap yang menggantikan PSAK 16 (1994) : Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-lain dan PSAK 17 (1994) Akuntansi Penyusutan, 
  3. PSAK No. 30 (revisi 2007) tentang Sewa menggantikan PSAK 30 (1994) tentang Sewa Guna Usaha.
  4. PSAK No. 50 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan : Penyajian dan Pengungkapan yang menggantikan Akuntansi Investasi Efek Tertentu 
  5. PSAK No. 55 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan : Pengakuan dan Pengukuran yang menggantikan Akuntansi Instrumen Derivatif dan Aktivitas Lindung Nilai.

Kelima PSAK tersebut dalam revisi terakhirnya sebagian besar sudah mengacu ke IAS/IFRS, walaupun terdapat sedikit perbedaan terkait dengan belum diadopsinya PSAK lain yang terkait dengan kelima PSAK tersebut. Dengan adanya penyempurnaan dan pengembangan PSAK secara berkelanjutan dari tahun ke tahun, saat ini terdapat tiga PSAK yang pengaturannya sudah disatukan dengan PSAK terkait yang terbaru sehingga nomor PSAK tersebut tidak berlaku lagi, yaitu :
  1. PSAK No. 9 (Revisi 1994) tentang Penyajian Aktiva Lancar dan Kewajiban Jangka Pendek pengaturannya disatukan dalam PSAK No. 1 (Revisi 1998) tentang Penyajian Laporan Keuangan;
  2. PSAK No. 17 (Revisi 1994) tentang Akuntansi Penyusutan pengaturannya disatukan dalam PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap; 
  3. PSAK No. 20 tentang Biaya Riset dan Pengembangan (1994) pengaturannya disatukan dalam PSAK No. 19 (Revisi 2000) tentang Aset Tidak Berwujud. 
PSAK yang sedang dalam proses revisi :
Ikatan Akuntan Indonesia merencanakan untuk konvergensi dengan IFRS mulai tahun 2012, untuk itu Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) sedang dalam proses merevisi 3 PSAK berikut (Sumber: Deloitte News Letter, 2007):
ü  PSAK 22 : Accounting for Business Combination, which is revised by reference to IFRS 3 : Business Combination;
ü  PSAK 58 : Discontinued Operations, which is revised by reference to IFRS 5 : Non-current Assets Held for Sale and Discontinued Operations; 
ü  PSAK 48 : Impairment of Assets, which is revised by reference to IAS 36 : Impairment of Assets
Berikut adalah program pengembangan standar akuntansi nasional oleh DSAK dalam rangka konvergensi dengan IFRS (Sumber: Ikatan Akuntan Indonesia, 2008):
  • Pada akhir 2010 diharapkan seluruh IFRS sudah diadopsi dalam PSAK; 
  • Tahun 2011 merupakan tahun penyiapan seluruh infrastruktur pendukung untuk implementasi PSAK yang sudah mengadopsi seluruh IFRS; 
  • Tahun 2012 merupakan tahun implementasi dimana PSAK yang berbasis IFRS wajib diterapkan oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki akuntabilitas publik. Namun IFRS tidak wajib diterapkan oleh perusahaan-perusahaan lokal yang tidak memiliki akuntabilitas publik. Pengembangan PSAK untuk UKM dan kebutuhan spesifik nasional didahulukan. 

Efek penerapan International Accounting Standard (IAS) terhadap Laporan Keuangan 
Beberapa penelitian di luar negeri telah dilakukan untuk menganalisa dan membuktikan efek penerapan IAS (IFRS) dalam laporan keuangan perusahaan domestik. Penelitian itu antara lain dilakukan oleh Barth, Landsman, Lang (2005), yang melakukan pengujian untuk membuktikan pengaruh Standar Akuntansi Internasional (SAI) terhadap kualitas akuntansi. Penelitian lain dilakukan oleh Marjan Petreski (2005), menguji efek adopsi SAI terhadap manajemen perusahaan dan laporan keuangan.
Hung & Subramanyan (2004) menguji efek adopsi SAI terhadap laporan keuangan perusahaan di Jerman. Hasil penelitian ini memberikan bukti bahwa total aktiva, total kewajiban dan nilai buku ekuitas, lebih tinggi yang menerapkan IAS dibanding standar akuntansi Jerman, dan tidak ada perbedaan yang signifikan pada pendapatan dan laba bersih yang didasarkan atas Standar Akuntansi Internasional dan Standar Akuntansi Jerman. Adopsi SAI juga berdampak pada rasio keuangan, antaralain rasio ROE, RAO, ATO, rasio LEV dan PM, rasio nilai buku terhadap nilai pasar ekuitas, rasio Earning to Price. 
Pricewaterhouse Coopers (2005) menyatakan bahwa perubahan standar akuntansi tersebut akan berdampak pada berbagai area antara lain: Product viability, Capital Instruments, Derivatives dan hedging, Employee benefits, fair valuations, capital allocation, leasing, segment reporting, revenue recognition, impairment reviews, deferred taxation, cash flows, disclosures, borrowing arrangements and banking covenants.

Peranan dan keuntungan harmonisasi atau adopsi IFRS sebagai standar akuntansi domestik
Keuntungan harmonisasi menurut Lecturer Ph. Diaconu Paul (2002) adalah: (1) Informasi keuangan yang dapat diperbandingkan, (2) Harmonisasi dapat menghemat waktu dan uang, (3) Mempermudah transfer informasi kepada karyawan serta mempermudah dalam melakukan training pada karyawan, (4) Meningkatkan perkembangan pasar modal domestik menuju pasar modal internasional, (5) Mempermudah dalam melakukan analisis kompetitif dan operasional yang berguna untuk menjalankan bisnis serta mempermudah dalam pengelolaan hubungan baik dengan pelanggan, supplier, dan pihak lain.
Pricewaterhouse Coopers (2005) dalam publikasinya “Making A change To IFRS” mengatakan: “Financial reporting that is not easily understood by global users is unlikely to bring new business or capital to a company. This is why so many are either voluntarily changing to IFRS, or being required to by their governments. Communicating in one language to global stakeholders enhances confidence in the business and improves finance-raising capabilities. It also allows multinational groups to apply common accounting across their subsidiaries, which can improve internal communications, and the quality of management reporting and group decision-making. At the same time, IFRS can ease acquisitions and divestments through greater certainty and consistency of accounting interpretation. In increasingly competitive markets, IFRS allows companies to benchmark themselves against their peers worldwide, and allows investors and others to compare the company’s performance with competitors globally. Those companies that do not make themselves comparable (or can’t, because national laws stand in the way) will be at a disadvantage and their ability to attract capital and create value going forward will be undermined”

Dalam publikasi tersebut, Pricewaterhouse Coopers sebagai perusahaan jasa professional atau kantor akuntan terbesar di dunia saat ini, menyatakan bahwa laporan keuangan dituntut untuk dapat memberikan informasi yang lebih dapat dipahami oleh pemakai global, dengan demikian dapat menarik modal ke dalam perusahaan. Hal inilah yang mendorong atau menuntut perubahan peraturan akuntansi domestik ke arah IFRS. Dengan mengadopsi IFRS berarti laporan keuangan berbicara dengan bahasa akuntansi yang sama, hal ini akan memudahkan perusahaan multinasional dalam berkomunikasi dengan cabang-cabang perusahaannya yang berada dalam negara yang berbeda, meningkatkan kualitas pelaporan manajemen dan pengambilan keputusan. Dengan mengadopsi IFRS juga berarti meningkatkan kepastian dan konsistensi dalam interpretasi akuntansi, sehingga memudahkan proses akuisisi dan divestasi. Dengan mengadopsi IFRS kinerja perusahaan dapat diperbandingkan dengan pesaing lainnya secara global, apalagi dengan semakin meningkatnya persaingan global saat ini. Akan menjadi suatu kelemahan bagi suatu perusahaan jika tidak dapat diperbandingkan secara global, yang berarti kurang mampu dalam menarik modal dan menghasilkan keuntungan di masa depan. 

Perlunya Harmonisasi Standar Akuntansi Internasional di Indonesia
Indonesia perlu mengadopsi standar akuntansi internasional untuk memudahkan perusahaan asing yang akan menjual saham di negara ini atau sebaliknya. Namun demikian, untuk mengadopsi standar internasional itu bukan perkara mudah karena memerlukan pemahaman dan biaya sosialisasi yang mahal. Indonesia sudah melakukannya namun sifatnya baru harmonisasi, dan selanjutnya akan dilakukan full adoption atas standar internasional tersebut. Adopsi standar akuntansi internasional tersebut terutama untuk perusahaan publik. Hal ini dikarenakan perusahaan publik merupakan perusahaan yang melakukan transaksi bukan hanya nasional tetapi juga secara internasional. Jika ada perusahaan dari luar negeri ingin menjual saham di Indonesia atau sebaliknya, tidak akan lagi dipersoalkan perbedaan standar akuntansi yang dipergunakan dalam menyusun laporan.
Ada beberapa pilihan untuk melakukan adopsi, menggunakan IAS apa adanya, atau harmonisasi. Harmonisasi adalah, kita yang menentukan mana saja yang harus diadopsi, sesuai dengan kebutuhan. Contohnya adalah PSAK (pernyataan standar akuntansi keuangan) nomor 24, itu mengadopsi sepenuhnya IAS nomor 19. Standar ini berhubungan dengan imbalan kerja atau employee benefit.
Kerugian apa yang akan kita hadapi bila kita tidak melakukan harmonisasi, kerugian kita berkaitan dengan kegiatan pasar modal baik modal yang masuk ke Indonesia, maupun perusahaan Indonesia yang listing di bursa efek di Negara lain. Perusahaan asing yang ingin listing di BEI akan kesulitan untuk menerjemahkan laporan keuangannya dulu sesuai standart nasional kita, sedangkan perusahaan Indonesia yang akan listing di Negara lain, juga cukup kesulitan untuk menerjemahkan atau membandingkan laporan keuangan sesuai standart di negara tersebut. Hal ini jelas akan menghambat perekonomian dunia, dan aliran modal akan berkurang dan tidak mengglobal.
Perkembangan Standar Akuntansi di Indonesia.
Adanya perubahan lingkungan global yang semakin menyatukan hampir seluruh negara di dunia dalam komunitas tunggal, yang dijembatani perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang semakin murah, menuntut adanya transparansi di segala bidang. Standar akuntansi keuangan yang berkualitas merupakan salah satu prasarana penting untuk mewujudkan transparasi tersebut. Standar akuntansi keuangan dapat diibaratkan sebagai sebuah cermin, di mana cermin yang baik akan mampu menggambarkan kondisi praktis bisnis yang sebenarnya. Oleh karena itu, pengembangan standar akuntansi keuangan yang baik, sangat relevan dan mutlak diperlukan pada masa sekarang ini.
Terkait hal tersebut, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai wadah profesi akuntansi di Indonesia selalu tanggap terhadap perkembangan yang terjadi, khususnya dalam hal-hal yang memengaruhi dunia usaha dan profesi akuntan. Hal ini dapat dilihat dari dinamika kegiatan pengembangan standar akuntansi sejak berdirinya IAI pada tahun 1957 hingga kini. Setidaknya, terdapat tiga tonggak sejarah dalam pengembangan standar akuntansi keuangan di Indonesia.
Tonggak sejarah pertama, menjelang diaktifkannya pasar modal di Indonesia pada tahun 1973. Pada masa itu merupakan pertama kalinya IAI melakukan kodifikasi prinsip dan standar akuntansi yang berlaku di Indonesia dalam suatu buku ”Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI).”
Kemudian, tonggak sejarah kedua terjadi pada tahun 1984. Pada masa itu, komite PAI melakukan revisi secara mendasar PAI 1973 dan kemudian mengkondifikasikannya dalam buku ”Prinsip Akuntansi Indonesia 1984” dengan tujuan untuk menyesuaikan ketentuan akuntansi dengan perkembangan dunia usaha.
Berikutnya pada tahun 1994, IAI kembali melakukan revisi total terhadap PAI 1984 dan melakukan kodifikasi dalam buku ”Standar Akuntansi Keuangan (SAK) per 1 Oktober 1994.” Sejak tahun 1994, IAI juga telah memutuskan untuk melakukan harmonisasi dengan standar akuntansi internasional dalam pengembangan standarnya. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi perubahan dari harmonisasi ke adaptasi, kemudian menjadi adopsi dalam rangka konvergensi dengan International Financial Reporting Standards (IFRS). Program adopsi penuh dalam rangka mencapai konvergensi dengan IFRS direncanakan dapat terlaksana dalam beberapa tahun ke depan.
Dalam perkembangannya, standar akuntansi keuangan terus direvisi secara berkesinambungan, baik berupa berupa penyempurnaan maupun penambahan standar baru sejak tahun 1994. Proses revisi telah dilakukan enam kali, yaitu pada tanggal 1 Oktober 1995, 1 Juni 1996, 1 Juni 1999, 1 April 2002, 1 Oktober 2004, dan 1 September 2007. Buku ”Standar Akuntansi Keuangan per 1 September 2007” ini di dalamnya sudah bertambah dibandingkan revisi sebelumnya yaitu tambahan KDPPLK Syariah, 6 PSAK baru, dan 5 PSAK revisi. Secara garis besar, sekarang ini terdapat 2 KDPPLK, 62 PSAK, dan 7 ISAK.
Untuk dapat menghasilkan standar akuntansi keuangan yang baik, maka badan penyusunnya terus dikembangkan dan disempurnakan sesuai dengan kebutuhan. Awalnya, cikal bakal badan penyusun standar akuntansi adalah Panitia Penghimpunan Bahan-bahan dan Struktur dari GAAP dan GAAS yang dibentuk pada tahun 1973. Pada tahun 1974 dibentuk Komite Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI) yang bertugas menyusun dan mengembangkan standar akuntansi keuangan. Komite PAI telah bertugas selama empat periode kepengurusan IAI sejak tahun 1974 hingga 1994 dengan susunan personel yang terus diperbarui. Selanjutnya, pada periode kepengurusan IAI tahun 1994-1998 nama Komite PAI diubah menjadi Komite Standar Akuntansi Keuangan (Komite SAK).
Kemudian, pada Kongres VIII IAI tanggal 23-24 September 1998 di Jakarta, Komite SAK diubah kembali menjadi Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) dengan diberikan otonomi untuk menyusun dan mengesahkan PSAK dan ISAK. Selain itu, juga telah dibentuk Komite Akuntansi Syariah (KAS) dan Dewan Konsultatif Standar Akuntansi Keuangan (DKSAK). Komite Akuntansi Syariah (KAS) dibentuk tanggal 18 Oktober 2005 untuk menopang kelancaran kegiatan penyusunan PSAK yang terkait dengan perlakuan akuntansi transaksi syariah yang dilakukan oleh DSAK. Sedangkan DKSAK yang anggotanya terdiri atas profesi akuntan dan luar profesi akuntan, yang mewakili para pengguna, merupakan mitra DSAK dalam merumuskan arah dan pengembangan SAK di Indonesia.
Ada juga pendapat yang lain mengtakan bahwa perkembangan standar akuntansi keuangan di Indonesia yang terbaru mengadopsi IFRS ke PSAK, kronologis kejadian dari tahun ke tahun adalah sebagai berikut :
Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) telah membentuk Komite Prinsip-prinsip Akuntansi Indonesia untuk menetapkan standar-standar akuntansi, yang kemudian dikenal dengan Prinsip-prinsip Akuntansi Indonesia (PAI). (Terjadi pada periode 1973-1984)
Komite PAI melakukan revisi secara mendasar PAI 1973 dan kemudian menerbitkan Prinsip Akuntansi Indonesia 1984 (PAI 1984). Menjelang akhir 1994, Komite standar akuntansi memulai suatu revisi besar atas prinsip-prinsip akuntansi Indonesia dengan mengumumkan pernyataan-pernyataan standar akuntansi tambahan dan menerbitkan interpretasi atas standar tersebut. Revisi tersebut menghasilkan 35 pernyataan standar akuntansi keuangan, yang sebagian besar harmonis dengan IAS yang dikeluarkan oleh IASB. (Terjadi pada periode 1984-1994)
Ada perubahan Kiblat dari US GAAP ke IFRS, hal ini ditunjukkan Sejak tahun 1994, telah menjadi kebijakan dari Komite Standar Akuntansi Keuangan untuk menggunakan International Accounting Standards sebagai dasar untuk membangun standar akuntansi keuangan Indonesia. Dan pada tahun 1995, IAI melakukan revisi besar untuk menerapkan standar-standar akuntansi baru, yang kebanyakan konsisten dengan IAS. Beberapa standar diadopsi dari US GAAP dan lainnya dibuat sendiri. (Terjadi pada periode 1994-2004).
Merupakan konvergensi IFRS Tahap 1, Sejak tahun 1995 sampai tahun 2010, buku Standar Akuntansi Keuangan (SAK) terus direvisi secara berkesinambungan, baik berupa penyempurnaan maupun penambahan standar baru. Proses revisi dilakukan sebanyak enam kali yakni pada tanggal 1 Oktober 1995, 1 Juni 1999, 1 April 2002, 1 Oktober 2004, 1 Juni 2006, 1 September 2007, dan versi 1 Juli 2009. Pada tahun 2006 dalam kongres IAI (Cek Lagi nanti) X di Jakarta ditetapkan bahwa konvergensi penuh IFRS akan diselesaikan pada tahun 2008. Target ketika itu adalah taat penuh dengan semua standar IFRS pada tahun 2008. Namun dalam perjalanannya ternyata tidak mudah. Sampai akhir tahun 2008 jumlah IFRS yang diadopsi baru mencapai 10 standar IFRS dari total 33 standar. (terjadi pada periode 2006-2008)

Sumber : https://ikhwamuji.wordpress.com/2014/01/07/standar-akuntansi-keuangan-dan-perkembangannya-di-indonesia-melaui-ifrs/

Monday, April 13, 2015

Branchless Banking


Nama     : Karlina Indah Purwanti
Kelas      : 4EB09
NPM     : 23211908

A.  Pengertian Branchless Banking (BB)
            Branchless Banking (BB) adalah layanan perbankan tanpa perlu membuka kantor cabang. Tujuannya adalah untuk mengurangi biaya layanan perbankan. Perluasan  jaringan perbankan, memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk menjangkau lokasi yang terpencil di tanah air. BB menjadi salah satu pendekatan yang potensial yang bersifat non-konvensional, hal ini disebabkan perbankan kita saat ini masih bersifat konvensional. Masalah permodalan dalam sistem bank konvensional merupakan hambatan utama dalam meningkatkan layanan jasa keuangan. Pendekatan non-konvensional seperti perkembangan e-banking, SMS banking atau mobile banking sudah diterapkan pada bank-bank besar namun terkendala pada saat pembukaan rekening (diharapkan kedepannya bisa dilakukan secara elektronik). BB merupakan terobosan yang bersifat non-konvensional dimana di beberapa negara seperti Kenya-Afrika dan Meksiko sudah berhasil menerapkannya. Terobosan yang harus dilakukan oleh  perbankan melalui pemanfaatan teknologi, khususnya telekomunikasi. Perkembangan industri telekomunikasi yang baru berkembang 20 tahun terakhir di Indonesia ternyata sudah memiliki penetrasi mencapai 250 juta pelanggan, apabila dibandingkan dengan  jumlah rekening tabungan yang hanya 70 juta (tahun 2011).
Elemen yang terkait dengan BB adalah:
1.      Banking agent yang berfungsi sebagai unit terdepan Bentuk banking agent juga sangat beragam bisa berbentuk koperasi, toko, dll atau lembaga keuangan selain bank. Namun yang paling penting adalah dapat menimbulkan efek multiplier bagi perekonomian masyarakat.
2.      Provider telekomunikasi dalam hal ini mobile banking ada di dalam teknologi ini.
3.      Masyarakat di luar nasabah perbankan melalui Financial Identity Number (FIN) yang kedepannya akan disinergikan dengan Kartu Identitas Penduduk yang dikeluarkan oleh Kemendagri
 
Kebutuhan akan kas dalam masyarakat pedesaan khususnya kebutuhan untuk transaksi sehari-hari dan kas untuk berjaga-jaga, harus dipenuhi, sehingga  pergerakan barang juga akan berputar lebih cepat. Masyarakat di daerah umumnya memiliki willingness to save lebih tinggi ketimbang willingness to get credit. Terutama di daerah yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah.



·         Implementasi dari BB :
1.      Bank Sinar Harapan Bali telah diakuisisi oleh Bank Mandiri dimana bank ini adalah pilot project layanan BB bertajuk SinarSip.
2.      Perkembangan e-Money, beberapa bank seperti Bank Mandiri dengan produknya “e-Toll dan e-Money”, Bank Central Asia dengan produknya “Flazz”, Bank Rakyat Indonesia, Bank Niaga, dll memberikan kemudahan dengan membeli kartu-kartu tersebut, masyarakat dapat membelanjakan dan diisi ulang dengan menggunakan uang cash di merchant yang sudah ditunjuk, juga di beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar. Sehingga tidak perlu memiliki rekening di bank untuk memiliki kartu tersebut.
3.      Bank Muamalat Tahun 2005 memperkenalkan layanan Shar-e dimana kartu ini untuk memenuhi keinginan nasabah yang ingin memiliki akses ke syariah. Sulitnya membuka cabang bank syariah membuat kartu ini sangat diminati. Pengisian kartu Shar-e dapat dilakukan melalui outlet PT. Pos Indonesia maupun ATM BCA dan ATM bersama. Lonjakan costumer mencapai 700% namun lemahnya misi dan terbatasnya perkembangan bank syariah menyebabkan  program ini tidak berjalan lama.

A.  Keuangan Inklusif (Financial Inclusion/FI)
Muhammad Yunus, banker dan ekonom Bangladesh yang mengembangkan konsep kredit mikro dan microfinance sebagai cara pembiayaan bagi kalangan masyarakat yang tidak memiliki akses kepada pinjaman bank tradisional dianugerahi  penghargaan Nobel Perdamaian 2006. Mereka adalah kalangan masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap pinjaman bank. Tapi Muhammad Yunus berani memberikan  pinjaman kepada mereka. Terbukti, mereka bisa dipercaya dan program ini berhasil mengangkat derajat dan kondisi ekonomi mereka yang selama ini tidak pernah disentuh oleh perbankan.
Dalam International Microfinance Conference, Yogyakarta 22-23 Oktober 2012,  pemaparan yang beliau sampaikan bertajuk “Microfinance as a Social Business: A Way to Solve Society’s Most Pressing Problems” yakni aktivitas bisnis sosial sama atau  bahkan bisa bermakna lebih dari filantrofis karena kegiatan bisnis sosial dapat meningkatkan tingkat kemandirian ekonomi. Filantrofis memberikan uang, tetapi orang yang menerimanya cenderung tidak mendapatkan uang itu kembali. Sedangkan, bisnis sosial memberikan uang dan orang yang menerimanya bisa mendapatkan uang itu kembali. Keuangan mikro, kredit mikro, dan keuangan inklusif bukan merupakan tujuan akhir namun berkurangnya kemiskinan, pengangguran.
Di Indonesia penerapan pembiayaan mikro melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR). Terbukanya akses keuangan terhadap masyarakat lapisan bawah merupakan suatu  pendekatan untuk mengurangi kesenjangan sosial, sehingga dapat tercipta pertumbuhan ekonomi berkualitas dan berkelanjutan. Hasil Riset BI tahun 2011, disebutkan bahwa sekitar 120 juta atau 50,6% dari 237 juta penduduk Indonesia belum tersentuh jasa  perbankan (unbankable). Lebih rinci, diketahui 62% rumah tangga nasional yang mencakup 32 juta jiwa belum tersentuh layanan perbankan. FI bertujuan untuk menjangkau kalangan pra-mikro atau masyarakat yang bahkan tidak memiliki pekerjaan dan tidak pernah memiliki usaha apapun. Riset Bank Dunia tahun 2011 berhasil menjawab masalah mengapa masyarakat berpenghasilan rendah belum membutuhkan layanan perbankan atau lembaga keuangan, yakni :
1.      Merasa belum memiliki uang yang cukup
2.      Belum memiliki pekerjaan tetap / pengangguran
3.      Tidak memeroleh manfaat bila berhubungan dengan bank atau lembaga keuangan lainnya
4.      Merasa tidak layak meminjam
5.      Tidak membutuhkan kredit
6.      Tidak memiliki jaminan untuk memeroleh pinjaman
7.      Tidak memiliki kemampuan untuk membayar cicilan utang
8.      Tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk pinjaman di bank
9.      Tidak akan memeroleh manfaat dari kredit bank

·         Keuangan Mikro (Microfinance)
Director of Microcredit Summit Campaign, Larry Reed, dalam International Microfinance Conference tahun 2012 di Yogyakarta menyebut microfinance terbukti ampuh menekan tingkat kemiskinan dan pengangguran, serta mengurangi kesenjangan, dimana Brasil adalah contoh suksesnya memberdayakan keuangan mikro dimana jumlah  penduduk miskin berkurang secara signifikan.
Peran krusial perbankan dalam pengembangan sistem keuangan mikro merupakan suatu keniscayaan, hal ini disebabkan perbankan tidak sekedar menjadi pemberi  pinjaman, tetapi juga mengedukasi masyarakat agar semakin melek finansial. Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank Bangladesh mengatakan perbankan menjalankan aktivitas pembiayaan mikro (microbanking) memiliki dua sisi yakni sisi  bisnis dan sisi sosial. Sisi bisnis pembiayaan mikro ditujukan bagi masyarakat  berpenghasilan rendah bersifat komersial lantaran mengambil profit dari suku bunga  pinjaman. Dari sisi sosial, perbankan menjadi agen literasi finansial yang membuka mata masyarakat terhadap sumbangsih produk pembiayaan untuk meningkatkan taraf hidup. Sebagai bisnis sosial microfinance telah menjelma menjadi fenomena global dimana kegiatan bisnis berjalan sembari memberdayakan kaum papa lewat pemberian modal usaha. Enam bank yang bergerak dalam penyaluran kredit mikro terbesar di dunia memiliki kinerja positif baik dari sisi profit maupun struktur permodalan :


Microfinance dikenalkan kepada masyarakat Indonesia melalui Program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Program ini bergulir di tahun 2007 dimana pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dapat memanfaatkan program KUR. Data kementerian Koperasi dan UKM jumlah koperasi di tahun 2011 sebanyak 188.181 unit, sementara di Juni 2012 meningkat menjadi 192.443 unit dg jumlah anggota 33.68 juta orang.
Dari survey yang dilakukan dapat dijelaskan bahwa pelayanan, proses yang cepat dan memuaskan serta persyaratan yang mudah, merupakan hal yang paling utama yang dibutuhkan oleh para pelaku usaha mikro.

Sumber: Hasil Survey World Bank 2011
Menurut riset BI hanya 30%-40% dari 51,3juta pelaku UMKM ini yang telah terhubung ke layanan perbankan, dan terdapat 60 juta UKM yang belum tersentuh jasa  perbankank. Adapun kontribusi UMKM terhadap total kredit perbankan sebesar 19,6%, dengan pangsa kredit didominasi usaha menengah (47%), usaha kecil (31,4%), dan usaha mikro (21,6%). Sampai dengan Oktober 2012 KUR yang disalurkan Rp. 89,96triliun dengan 7,16 juta pelaku UMKM. Namun penyalurannya tidak merata dimana didominasi di pulau Jawa (49,63%), Sumatera (22,68%), Kalimantan (10,82%), Sulawesi (9,64%), Bali (4,47%) dan Papua-Maluku (2,76%). Sektor perdagangan mendominasi KUR ini yakni sebesar 54,76%.


a)    Undisbursed Loan Usaha Mikro
 Semakin ramainya perbankan mengemas dan menjual kredit ke pengusaha mikro merupakan kondisi positif. Tapi, hal yang perlu diperhatikan “ketidakmampuan usaha mikro” dalam menyerap kredit yang sudah disetujui. Kelonggaran tarik kredit untuk “undisbursed loan” usaha mikro sejak 2010 cenderung meningkat dari Rp72 triliun naik menjadi Rp77 triliun sampai akhir Agustus 2012. Sehingga, rasionya juga meningkat dari 3,2% menjadi 3,6% selama  periode yang sama. Di sisi lain, total kredit (netto) juga menurun dari Rp194 triliun  pada tahun 2010 menjadi Rp121 triliun per Agustus 2012, setelah tahun 2011 sempat melonjak jadi Rp300 triliun.
Dari sisi kualitas, NPL (non-performing loan) kredit UMKM mencapai 4,11%, lebih tinggi dari triwulan II-2012 sebesar 3,78%. Namun NPL kredit UMKM tersebut lebih rendah dibandingkan posisi Agustus 2011 sebesar 4,70%. Tren menunjukkan rasio NPL milik bank asing dan bank campuran untuk membiayai usaha mikro ini lebih kecil dibanding bank negara dan swasta, yang implisit menunjukkan mereka lebih baik dalam mengelola nasabah mikro. Dan, NPL tertinggi ada di sektor perikanan dan perdagangan. Potret pasar perkreditan dengan undisbursed loan berkisar 3,6% menunjukkan masih ada kendala lain (selain masalah pendanaan) dari usaha mikro nasional, yakni mereka mengalami kendala dalam menyalurkan dan mengembangkan usaha. Hal ini terkait dengan masalah  perkembangan prospek ekonomi, kelaikan industri atau manajemen produksi, bahan  baku sampai masalah pemasaran. Sehingga, tahap selanjutnya bukan lagi terfokus  pada pembiayaan saja, tapi ada di luar aspek pembiayaan. Pada sisi inilah, perlu dorongan dan bantuan lebih terpadu dari pemerintah, meskipun itu sebuah affirmative action. Menerapkan bunga dan aturan terkait dan perlakuan khusus kepada nasabah usaha mikro dengan disokong pembiayaan mikro.
b)   Hambatan Keuangan Mikro di Indonesia
Penelitian yang dilakukan oleh A.Prasetyantoko (dekan Unika Atmajaya) dan Jay Rosengard, Profesor dari Harvard Kennedy School (HKS) pada 2011 terhadap lalu sektor mikro :
1. Sulitnya mencari pinjaman
2. Kekurangan likuditas.  
Namun hambatan ini hanya bersifat anomali disebabkan perbankan kita sangat likuid, solven dan profitable, sementara stabilitas makro ekonomi juga baik. Fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi tidak berjalan seperti yang diharapkan. Secara mikro, kredit ke sektor mikro begitu minim. Fakta ini memiliki implikasi yakni:
1. Tidak ada sektor usaha menengah yang kuat di Indonesia. Struktur dunia usaha di Indonesia begitu rapuh, kosong di bagian tengahnya (missing middle).
2. Kesenjangan terus akan terjadi, mengingat pertumbuhan ekonomi cenderung memperbanyak jumlah orang ultra-kaya (highly net worth individuals).
Akibatnya sektor mikro di Indonesia mengalami credit crunch. Artinya, meskipun likuditas ada, tetapi bank enggan menyalurkan kredit ke sektor tersebut. Karena mengelola keuangan mikro sulit, tidak bisa mengikuti prinsip- prinsip yang lazim digunakan pada kredit besar. Secara teoritis, kredit mikro memiliki ciri yang sangat menonjol, yaitu informasi yang tersedia mengenai debitur sangat minim. Itulah yang dinamakan sebagai asymmetric information atau informasi yang tidak simetris. Perbankan memilih untuk menghindari sektor mikro kalaupun ada, suku bunganya menjadi sangat tinggi.
c)    Prospek Keuangan mikro ke depan
Keuangan mikro masih memilik prospek yang menjanjikan berdasarkan maka  jumlah unit usaha yang tergolong dalam usaha mikro berjumlah 98,88% terhadap total entitas bisnis yang ada. Berdasarkan kriteria yang ada dalam UU No. 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), kriteria unit usaha yang bisa digolongkan sebagai usaha besar hanya 0,01%, sementara yang masuk dalam kategori usaha menengah hanya 0,08 persen. Meskipun entitasnya banyak, namun kontribusi usaha mikro di Indonesia masih sangat kecil, baik dari sisi sumbangan terhadap PDB maupun sumbangan pada ekspor. Padahal, usaha mikro menyerap tenaga kerja cukup  banyak, yaitu 91,03 persen. Dilihat dari populasinya yang besar, jelas usaha mikro adalah wilayah yang belum terjamah. Memang untuk menjangkaunya sulit, karena medannya memang berbeda. Usaha mikro cenderung bersifat informal, sehingga untuk menetapkan syarat harus memiliki izin usaha, agak sulit dilakukan. Dan, karena itu, umumnya sektor mikro tidak terjamah oleh kredit dari sektor perbankan modern. Mereka biasanya mengakses sumber kredit yang bersifat informal pula, seperti pinjaman ke saudara, koperasi, credit unions dan bahkan ke rentenir (lintah darat). Mereka rela membayar  bunga pinjaman kredit yang begitu tinggi, karena memang mereka tidak mampu mengakses kredit dengan persyaratan formal. Mereka ini adalah kelompok informal, jadi sumber keuangannya juga bersifat informal. Solusinya adalah menginformalkan, sebab mereka tidak memiliki jaminan. Perbankan modern harus bekerja sama dengan lembaga-lembaga seperti koperasi, asosiasi, dan sebagainya sebagai penyalur (channeling). Keuangan mikro meskipun memiliki prospek yang bagus, tetapi membutuhkan revolusi dalam pengelolaannya. Oleh sebab itu, kelompok-kelompok yang mendampingi usaha mikro yang bersifat informal itu juga harus bergerak dalam kerangka pemberdayaan.
 


B.  Arah Kedepan Keuangan Inklusif 
Strong growth is not necessarily inclusive. But, inclusive growth is a more sustained and optimal growth. Pernyataan ini disampaikan oleh Bp. Darmin Nasution, Gubernur Bank Indonesia pada Bankers Dinners November 2012 yang lalu. Industri  perbankan nasional perlu terus didorong untuk memperkuat ketahanan, efisiensi, dan  peranannya dalam intermediasi termasuk didalamnya adalah perluasan akses masyarakat dengan biaya yang lebih terjangkau melalui program keuangan inklusif. Program ini harus dilakukan melalui dua sisi yakni:
·         Penawaran (perluasan akses layanan perbankan dengan biaya terjangkau) dan
·         Permintaan (penyediaan produk perbankan yang sesuai dg kebutuhan masyarakat  berpenghasilan rendah).
Implementasi kebijakan financial inclusion:
1.      Pengoptimalan Penggunaan dengan di dukung regulasi Mobile Money
2.      Guideline & Pilot Project, Regulasi Branchless Banking
3.      Enhancement Tabunganku
4.      Fasilitasi sertifikasi tanah
5.      Mengembangkan Financial Identification Number (FIN)
6.      Pengembangan Skim “Start-up” kredit serta produknya
7.      Melakukan edukasi dan sosialisasi
8.      Melakukan Consumer Protection
Pilar Financial Inclusion:
1.      Edukasi Financial Literacy atau akses terhadap layanan keuangan dengan memberI informasi kepada masyarakat yang belum tersentuh akan pentingnya memiliki akses
2.      Elegibility atau kelayakan para nasabah agar dapat memeroleh produk yang bisa dijangkau oleh nasabah mikro
3.      Regulasi yang mendorong pemda melakukan sertifikasi sehingga para nasabah layak mendapat pinjaman
4.      Mendorong intermediasi yang lebih cepat dimana lembaga keuangan memformulasikan kredit yang mudah diserap pengusaha mikro
5.      Peningkatan saluran distribusi, yakni memperkenalkan layanan.

Sumber :
http://www.academia.edu/7450250/Branchless_Banking_sebagai_Terobosan_Inklusi_Finansial_Tulisan_untuk_memperkaya_perbankan_di_Indonesia_Oleh_Irma_Yus_harto