Nama : Karlina Indah Purwanti
Kelas : 4EB09
NPM : 23211908
A.
Pengertian
Branchless Banking (BB)
Branchless Banking (BB) adalah layanan perbankan tanpa perlu membuka kantor
cabang. Tujuannya adalah untuk mengurangi biaya layanan perbankan. Perluasan jaringan
perbankan, memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk menjangkau lokasi yang terpencil
di tanah air. BB menjadi salah satu pendekatan yang potensial yang bersifat non-konvensional,
hal ini disebabkan perbankan kita saat ini masih bersifat konvensional. Masalah
permodalan dalam sistem bank konvensional merupakan hambatan utama dalam meningkatkan layanan jasa keuangan. Pendekatan non-konvensional
seperti perkembangan e-banking, SMS banking atau mobile banking sudah
diterapkan pada bank-bank besar namun terkendala pada saat pembukaan rekening (diharapkan
kedepannya bisa dilakukan secara elektronik). BB merupakan terobosan yang
bersifat non-konvensional dimana di beberapa negara seperti Kenya-Afrika dan Meksiko
sudah berhasil menerapkannya. Terobosan yang harus dilakukan oleh perbankan
melalui pemanfaatan teknologi, khususnya telekomunikasi. Perkembangan industri
telekomunikasi yang baru berkembang 20 tahun terakhir di Indonesia ternyata
sudah memiliki penetrasi mencapai 250 juta pelanggan, apabila dibandingkan
dengan jumlah rekening tabungan yang hanya 70 juta (tahun 2011).
Elemen yang terkait dengan BB adalah:
1.
Banking agent yang berfungsi sebagai
unit terdepan Bentuk banking agent juga sangat beragam bisa berbentuk koperasi,
toko, dll atau lembaga keuangan selain bank. Namun yang paling penting adalah
dapat menimbulkan efek multiplier bagi perekonomian masyarakat.
2.
Provider telekomunikasi dalam hal ini
mobile banking ada di dalam teknologi ini.
3.
Masyarakat di luar
nasabah perbankan melalui Financial Identity Number (FIN) yang kedepannya akan disinergikan dengan Kartu Identitas Penduduk yang dikeluarkan
oleh Kemendagri
Kebutuhan akan kas dalam masyarakat pedesaan khususnya kebutuhan untuk transaksi
sehari-hari dan kas untuk berjaga-jaga, harus dipenuhi, sehingga pergerakan
barang juga akan berputar lebih cepat. Masyarakat di daerah umumnya memiliki
willingness to save lebih tinggi ketimbang willingness to get credit. Terutama
di daerah yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah.
·
Implementasi dari
BB :
1.
Bank Sinar Harapan Bali telah diakuisisi
oleh Bank Mandiri dimana bank ini adalah pilot project layanan BB bertajuk
SinarSip.
2.
Perkembangan e-Money, beberapa bank
seperti Bank Mandiri dengan produknya “e-Toll
dan e-Money”, Bank Central Asia dengan produknya “Flazz”, Bank Rakyat
Indonesia, Bank Niaga, dll memberikan kemudahan dengan membeli kartu-kartu
tersebut, masyarakat dapat membelanjakan dan diisi ulang dengan menggunakan uang cash di merchant yang sudah ditunjuk,
juga di beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar. Sehingga tidak perlu memiliki rekening
di bank untuk memiliki kartu tersebut.
3.
Bank Muamalat Tahun 2005 memperkenalkan
layanan Shar-e dimana kartu ini untuk
memenuhi keinginan nasabah yang ingin memiliki akses ke syariah. Sulitnya
membuka cabang bank syariah membuat kartu ini sangat diminati. Pengisian kartu
Shar-e dapat dilakukan melalui outlet PT. Pos Indonesia maupun ATM BCA dan ATM bersama. Lonjakan costumer
mencapai 700% namun lemahnya misi dan terbatasnya perkembangan bank
syariah menyebabkan program ini tidak berjalan lama.
A.
Keuangan Inklusif (Financial Inclusion/FI)
Muhammad Yunus, banker dan ekonom Bangladesh yang
mengembangkan konsep kredit mikro dan microfinance sebagai cara
pembiayaan bagi kalangan masyarakat yang tidak memiliki akses kepada pinjaman
bank tradisional dianugerahi penghargaan Nobel Perdamaian 2006. Mereka
adalah kalangan masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap pinjaman bank.
Tapi Muhammad Yunus berani memberikan pinjaman kepada mereka. Terbukti, mereka
bisa dipercaya dan program ini berhasil mengangkat derajat dan kondisi ekonomi
mereka yang selama ini tidak pernah disentuh oleh perbankan.
Dalam International Microfinance Conference, Yogyakarta 22-23 Oktober 2012,
pemaparan yang beliau sampaikan bertajuk “Microfinance as a Social
Business: A Way to Solve Society’s Most Pressing Problems” yakni aktivitas
bisnis sosial sama atau bahkan bisa bermakna lebih dari filantrofis
karena kegiatan bisnis sosial dapat meningkatkan tingkat kemandirian ekonomi.
Filantrofis memberikan uang, tetapi orang yang
menerimanya cenderung tidak mendapatkan uang itu kembali. Sedangkan, bisnis sosial
memberikan uang dan orang yang menerimanya bisa mendapatkan uang itu kembali.
Keuangan mikro, kredit mikro, dan keuangan inklusif bukan merupakan tujuan
akhir namun berkurangnya kemiskinan, pengangguran.
Di Indonesia penerapan pembiayaan mikro melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Terbukanya akses keuangan terhadap masyarakat lapisan bawah merupakan suatu pendekatan
untuk mengurangi kesenjangan sosial, sehingga dapat tercipta pertumbuhan ekonomi
berkualitas dan berkelanjutan. Hasil Riset BI tahun 2011, disebutkan bahwa sekitar
120 juta atau 50,6% dari 237 juta penduduk Indonesia belum tersentuh jasa
perbankan (unbankable). Lebih rinci, diketahui 62% rumah tangga nasional
yang mencakup 32 juta jiwa belum tersentuh
layanan perbankan. FI bertujuan untuk menjangkau kalangan pra-mikro atau
masyarakat yang bahkan tidak memiliki pekerjaan dan tidak pernah memiliki usaha
apapun. Riset Bank Dunia tahun 2011 berhasil menjawab
masalah mengapa masyarakat berpenghasilan rendah belum membutuhkan layanan
perbankan atau lembaga keuangan, yakni :
1.
Merasa belum memiliki uang yang cukup
2.
Belum memiliki pekerjaan tetap /
pengangguran
3.
Tidak memeroleh manfaat bila berhubungan
dengan bank atau lembaga keuangan lainnya
4.
Merasa tidak layak meminjam
5.
Tidak membutuhkan kredit
6.
Tidak memiliki
jaminan untuk memeroleh pinjaman
7.
Tidak memiliki
kemampuan untuk membayar cicilan utang
8.
Tidak memiliki pengetahuan yang cukup
tentang seluk beluk pinjaman di bank
9.
Tidak akan memeroleh manfaat dari kredit
bank
·
Keuangan Mikro (Microfinance)
Director of Microcredit Summit Campaign, Larry Reed, dalam International
Microfinance Conference tahun 2012 di Yogyakarta menyebut microfinance terbukti
ampuh menekan tingkat kemiskinan dan pengangguran, serta mengurangi
kesenjangan, dimana Brasil adalah contoh
suksesnya memberdayakan keuangan mikro dimana jumlah penduduk miskin
berkurang secara signifikan.
Peran krusial perbankan dalam pengembangan sistem keuangan mikro merupakan
suatu keniscayaan, hal ini disebabkan perbankan tidak sekedar menjadi pemberi
pinjaman, tetapi juga mengedukasi masyarakat agar semakin melek
finansial. Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank Bangladesh mengatakan perbankan
menjalankan aktivitas pembiayaan mikro (microbanking) memiliki dua sisi yakni
sisi bisnis dan sisi sosial. Sisi bisnis pembiayaan mikro ditujukan bagi
masyarakat berpenghasilan rendah bersifat komersial lantaran mengambil
profit dari suku bunga pinjaman. Dari sisi sosial, perbankan menjadi agen
literasi finansial yang membuka mata masyarakat
terhadap sumbangsih produk pembiayaan untuk meningkatkan taraf hidup. Sebagai
bisnis sosial microfinance telah menjelma menjadi fenomena global dimana kegiatan
bisnis berjalan sembari memberdayakan kaum papa lewat pemberian modal usaha.
Enam bank yang bergerak dalam penyaluran kredit mikro terbesar di dunia memiliki
kinerja positif baik dari sisi profit maupun struktur permodalan :

Microfinance dikenalkan kepada masyarakat Indonesia melalui
Program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Program ini bergulir di tahun 2007 dimana pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dapat memanfaatkan program KUR. Data kementerian Koperasi dan UKM jumlah koperasi di tahun 2011 sebanyak 188.181 unit, sementara di Juni 2012 meningkat menjadi 192.443 unit dg jumlah anggota 33.68 juta orang.
Dari survey yang dilakukan dapat dijelaskan bahwa pelayanan, proses yang
cepat dan memuaskan serta persyaratan yang mudah, merupakan hal yang paling
utama yang dibutuhkan oleh para pelaku usaha mikro.
Sumber:
Hasil Survey World Bank 2011
Menurut riset BI hanya 30%-40% dari 51,3juta pelaku UMKM ini yang telah terhubung ke layanan perbankan, dan terdapat 60
juta UKM yang belum tersentuh jasa perbankank. Adapun kontribusi
UMKM terhadap total kredit perbankan sebesar 19,6%, dengan pangsa kredit
didominasi usaha menengah (47%), usaha kecil (31,4%), dan usaha mikro (21,6%).
Sampai dengan Oktober 2012 KUR yang disalurkan Rp. 89,96triliun dengan 7,16 juta
pelaku UMKM. Namun penyalurannya tidak merata dimana didominasi di pulau Jawa
(49,63%), Sumatera (22,68%), Kalimantan (10,82%), Sulawesi (9,64%), Bali
(4,47%) dan Papua-Maluku (2,76%). Sektor perdagangan mendominasi KUR ini yakni sebesar
54,76%.
a)
Undisbursed Loan
Usaha Mikro
Semakin ramainya perbankan mengemas dan menjual kredit ke pengusaha mikro merupakan kondisi positif. Tapi, hal yang perlu
diperhatikan “ketidakmampuan usaha mikro” dalam menyerap kredit yang
sudah disetujui. Kelonggaran tarik kredit untuk “undisbursed loan” usaha mikro
sejak 2010 cenderung meningkat dari Rp72
triliun naik menjadi Rp77 triliun sampai akhir Agustus 2012. Sehingga,
rasionya juga meningkat dari 3,2% menjadi 3,6% selama periode yang sama.
Di sisi lain, total kredit (netto) juga menurun dari Rp194 triliun pada
tahun 2010 menjadi Rp121 triliun per Agustus 2012, setelah tahun 2011 sempat
melonjak jadi Rp300 triliun.
Dari sisi kualitas, NPL (non-performing loan) kredit UMKM mencapai 4,11%, lebih
tinggi dari triwulan II-2012 sebesar 3,78%. Namun NPL kredit UMKM tersebut lebih
rendah dibandingkan posisi Agustus 2011 sebesar 4,70%. Tren menunjukkan rasio
NPL milik bank asing dan bank campuran untuk membiayai usaha mikro ini lebih
kecil dibanding bank negara dan swasta, yang implisit menunjukkan mereka lebih baik dalam mengelola nasabah mikro. Dan, NPL tertinggi
ada di sektor perikanan dan perdagangan. Potret pasar perkreditan dengan undisbursed
loan berkisar 3,6% menunjukkan masih ada kendala lain (selain masalah pendanaan) dari usaha mikro nasional,
yakni mereka mengalami kendala dalam menyalurkan dan mengembangkan usaha. Hal
ini terkait dengan masalah perkembangan prospek ekonomi, kelaikan
industri atau manajemen produksi, bahan baku sampai masalah pemasaran.
Sehingga, tahap selanjutnya bukan lagi terfokus pada pembiayaan saja,
tapi ada di luar aspek pembiayaan. Pada sisi inilah, perlu dorongan dan bantuan
lebih terpadu dari pemerintah, meskipun itu sebuah affirmative action.
Menerapkan bunga dan aturan terkait dan perlakuan khusus kepada nasabah usaha
mikro dengan disokong pembiayaan mikro.
b)
Hambatan Keuangan
Mikro di Indonesia
Penelitian yang dilakukan oleh A.Prasetyantoko (dekan Unika Atmajaya) dan Jay
Rosengard, Profesor dari Harvard Kennedy School (HKS) pada 2011 terhadap lalu sektor mikro :
1. Sulitnya mencari pinjaman
2. Kekurangan likuditas.
Namun hambatan ini hanya bersifat anomali disebabkan perbankan kita sangat likuid,
solven dan profitable, sementara stabilitas makro ekonomi juga baik. Fungsi
perbankan sebagai lembaga intermediasi tidak berjalan seperti yang diharapkan.
Secara mikro, kredit ke sektor mikro begitu minim. Fakta ini memiliki implikasi
yakni:
1. Tidak ada sektor usaha menengah yang kuat di Indonesia. Struktur dunia usaha
di Indonesia begitu rapuh, kosong di bagian tengahnya (missing middle).
2. Kesenjangan terus akan terjadi, mengingat pertumbuhan ekonomi cenderung memperbanyak
jumlah orang ultra-kaya (highly net worth individuals).
Akibatnya sektor mikro di Indonesia mengalami credit crunch. Artinya,
meskipun likuditas ada, tetapi bank enggan menyalurkan kredit ke sektor
tersebut. Karena mengelola keuangan mikro sulit, tidak bisa mengikuti prinsip- prinsip
yang lazim digunakan pada kredit besar. Secara teoritis, kredit mikro memiliki
ciri yang sangat menonjol, yaitu informasi yang tersedia mengenai debitur
sangat minim. Itulah yang dinamakan sebagai asymmetric information atau informasi
yang tidak simetris. Perbankan memilih untuk menghindari sektor mikro kalaupun ada, suku bunganya menjadi
sangat tinggi.
c)
Prospek Keuangan
mikro ke depan
Keuangan mikro masih memilik prospek yang menjanjikan
berdasarkan maka jumlah unit usaha yang tergolong
dalam usaha mikro berjumlah 98,88% terhadap total entitas bisnis yang ada.
Berdasarkan kriteria yang ada dalam UU No.
20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), kriteria unit usaha
yang bisa digolongkan sebagai usaha besar hanya 0,01%, sementara yang masuk
dalam kategori usaha menengah hanya 0,08 persen. Meskipun entitasnya banyak,
namun kontribusi usaha mikro di Indonesia masih sangat kecil, baik dari
sisi sumbangan terhadap PDB maupun sumbangan pada ekspor. Padahal, usaha mikro
menyerap tenaga kerja cukup banyak, yaitu 91,03 persen. Dilihat dari
populasinya yang besar, jelas usaha mikro adalah wilayah yang belum terjamah.
Memang untuk menjangkaunya sulit, karena medannya
memang berbeda. Usaha mikro cenderung bersifat informal, sehingga untuk
menetapkan syarat harus memiliki izin usaha, agak sulit dilakukan. Dan,
karena itu, umumnya sektor mikro tidak terjamah oleh kredit dari sektor perbankan modern. Mereka biasanya mengakses sumber kredit
yang bersifat informal pula, seperti pinjaman ke saudara, koperasi, credit
unions dan bahkan ke rentenir (lintah darat). Mereka rela membayar bunga
pinjaman kredit yang begitu tinggi, karena memang mereka tidak mampu mengakses kredit
dengan persyaratan formal. Mereka ini adalah kelompok informal, jadi sumber
keuangannya juga bersifat informal. Solusinya adalah menginformalkan, sebab
mereka tidak memiliki jaminan. Perbankan
modern harus bekerja sama dengan lembaga-lembaga seperti koperasi,
asosiasi, dan sebagainya sebagai penyalur (channeling). Keuangan mikro meskipun
memiliki prospek yang bagus, tetapi membutuhkan revolusi dalam pengelolaannya.
Oleh sebab itu, kelompok-kelompok yang mendampingi usaha mikro yang bersifat
informal itu juga harus bergerak dalam kerangka pemberdayaan.
B.
Arah Kedepan Keuangan Inklusif
Strong growth is not necessarily inclusive. But,
inclusive growth is a more sustained and optimal growth. Pernyataan
ini disampaikan oleh Bp. Darmin Nasution, Gubernur Bank Indonesia pada Bankers
Dinners November 2012 yang lalu. Industri perbankan nasional perlu terus
didorong untuk memperkuat ketahanan, efisiensi, dan peranannya dalam intermediasi
termasuk didalamnya adalah perluasan akses masyarakat dengan biaya yang lebih
terjangkau melalui program keuangan inklusif. Program ini harus dilakukan
melalui dua sisi yakni:
·
Penawaran (perluasan akses layanan
perbankan dengan biaya terjangkau) dan
·
Permintaan (penyediaan produk perbankan
yang sesuai dg kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah).
Implementasi kebijakan
financial inclusion:
1.
Pengoptimalan Penggunaan dengan di dukung
regulasi Mobile Money
2.
Guideline & Pilot Project, Regulasi
Branchless Banking
3.
Enhancement Tabunganku
4.
Fasilitasi
sertifikasi tanah
5.
Mengembangkan Financial Identification
Number (FIN)
6.
Pengembangan Skim “Start-up” kredit
serta produknya
7.
Melakukan edukasi dan sosialisasi
8.
Melakukan Consumer Protection
Pilar Financial
Inclusion:
1.
Edukasi Financial Literacy atau akses
terhadap layanan keuangan dengan memberI informasi kepada masyarakat yang belum
tersentuh akan pentingnya memiliki akses
2.
Elegibility atau kelayakan para nasabah
agar dapat memeroleh produk yang bisa dijangkau
oleh nasabah mikro
3.
Regulasi yang mendorong pemda melakukan
sertifikasi sehingga para nasabah layak mendapat pinjaman
4.
Mendorong intermediasi yang lebih cepat
dimana lembaga keuangan memformulasikan kredit yang mudah diserap pengusaha
mikro
5.
Peningkatan saluran distribusi, yakni
memperkenalkan layanan.
Sumber :
http://www.academia.edu/7450250/Branchless_Banking_sebagai_Terobosan_Inklusi_Finansial_Tulisan_untuk_memperkaya_perbankan_di_Indonesia_Oleh_Irma_Yus_harto